Apa yang biasa kalian lakukan saat hendak traveling ke suatu daerah yang belum pernah kalian kunjungi sebelumnya? Kalau saya, ada dua kemungkinannya. Pertama adalah berusaha se-well prepared mungkin khususnya tentang pengetahuan mengenai daerah tujuan. Googling apapun yang berkaitan dengan daerah tersebut biar pas disana sudah ada gambaran seperti apa tempat, makanan, kultur atau setidaknya hal-hal dasar tentang daerah tersebut yang harus diketahui.
Kemungkinan kedua, saya sengaja tidak mencari tahu apapun tentang daerah tersebut. Bukan karena nggak butuh, melainkan agar benar-benar ‘berpetualang’ dan totally get lost tanpa ada clue-clue yang udah tau sebelumnya. Jadi apapun yang akan ditemui sepanjang perjalanan bakal jadi pengalaman seru dan exciting.
Khusus perjalanan ke Sulawesi Selatan minggu lalu, saya sengaja memilih opsi kedua. Saya tidak mencari informasi apapun dan benar-benar menanti setiap ‘kejutan’ yang akan hadir selama perjalanan. Termasuk … tentang travel mate saya!
Parah?!
Iya. Jadi saya berangkat sendiri dari Surabaya menuju Makassar hanya dengan satu petunjuk ‘nanti kita ketemu di Makassar’ via whatsapp. Tanpa saya hafal wajah travel mate-nya, tanpa tahu siapa yang akan menjemput, tanpa janjian ketemu di Makassar bagian sebelah mana. Dan yak, saya tetap berangkat anyway.
Sampai di bandara, saya yang masih terkena euforia ‘menginjakkan kaki untuk pertama kali’ di Sulawesi harus segera melipir ke luar bandara untuk bertemu travel mate saya. Salah satunya adalah yang akan saya ceritakan di postingan ini. Saya yang masih sibuk dengan layar telepon pintar untuk mengabarkan lokasi, melihat beliau yang sebelumnya hanya saya lihat di timelinemedia sosial. Tak lama berselang, beliau sudah beringsut mendekat dan menyalami saya, tetap dengan senyum mengembang dan wajah sumringah.
“Terima kasih yaaa sudah mau datang..” ucap beliau tepat saat saya baru sampai kata “Te…”
Bukankah saya yang harusnya berterima kasih?
Beliaulah yang membuat saya bisa menginjakkan kaki di tanah Sulawesi. Dan kalimat pertama beliau justru membuat saya mengernyitkan dahi terkejut. Nih orang gimana sih, kok beda banget sama yang kubayangkan, batin saya. Belum terjawab penasaran saya, ibu dua anak itu sudah sibuk memperkenalkan dua rekannya yang tak lain adalah pak Bagus, ketua cabang organisasinya di Sulawesi Selatan dan pak Ai’, seorang guru di SMK Widya Nusantara.
Gimana nggak terkejut, sekilas melihat profil beliau di medsos, saya hampir yakin bahwa beliau adalah sosok ibu-ibu sosialita yang jaim, selalu memakai fasilitas kelas wahid, dan tidak semudah itu akrab dengan orang yang baru ditemui seperti saya. Just like, siapa sih gue?! (Pardon me for this, Madame!)
Tapi bahkan baru beberapa menit pertemuan kami, semua bayangan saya tentang beliau ternyata salah total. Beliau yang saya tahu masih sibuk kontak si A, si B dan seterusnya, dengan senang hati menerima saran saya untuk berfoto di miniatur Rumah Tongkonan, tepat di depan bandara Sultan Hasanuddin. Dan yak, bersamaan dengan terpencetnya tombol shutter kamera, maka perasaan asing dan ‘nggak kenal’ yang saya khawatirkan akan bikin perjalanan jadi nggak asik, hilang begitu saja.
Tepat di depan bandara, persahabatan hangat itu telah dimulai.
Iya. Saya sebut persahabatan karena memang beliau membuka dan memposisikan diri bukan sebagai seorang founder organisasi yang memberi saya kesempatan untuk sampai di tempat itu melainkan sebagai sahabat, sebagai kakak yang hangat, sebagai ibu yang perhatian sekaligus sebagai manager yang tahu benar bagaimana membuat rundown yang hectic menjadi menyenangkan.
Bagaimana tidak, berderet kegiatan mulai dari makan-makan santai di pinggir pantai sampai seminar serius dengan staf ahli menteri telah menanti. Belum lagi agenda berbagi inspirasi di sebuah sekolah tentang pemanfaatan TIK dan rencana eksplore potensi wisata lokal disana. Perjalanan kali ini benar-benar paket komplit. Tak terbayang jika travel mate nya nggak asik.
Beliau yang selalu rajin bertanya “Eh kamu udah pernah makan ini belum?” sambil bercerita menu-menu khas daerah setempat, yang selalu memastikan “Eh kamu belum pernah ke tempat A, B, C dst kan? Nanti kita kesana ya!” juga yang selalu dengan senang hati sharing apapun. Mulai dari cerita bahagia, lucu, haru hingga makanan dan snack. Iya, apapun di share gitu deh.
Saya hanya ber-Oo pendek sambil manggut-manggut setiap beliau menceritakan bagaimana rasanya meninggalkan pekerjaan mapannya demi passion. Bagaimana cerita dari berbagai sudut negeri, juga kesempatan-kesempatan luar biasa yang telah didapat serta diciptakan oleh beliau bersama tim nya.
Ah, speechless!
Saya yang biasanya selalu kebanyakan stok pertanyaan, justru menjadi semakin banyak menyimak dan merekam dalam otak. She inspires me a lot. Seorang profesional yang sangat easy going sekaligus sangat detail menyiapkan banyak hal dalam waktu bersamaan. Energi beliau luar biasa untuk me-manage kegiatan-kegiatan yang dijalankan tidak hanya di Indonesia namun juga mancanegara.
Satu lagi yang membuat saya salut, diantara semua kesibukan itu, beliau tetaplah seorang ibu dan istri yang total menjalankan berbagai norma keluarga yang dipegang erat. Maka tak heran kalau perjalanan saya bersama beliau sekaligus juga bisa jadi kuliah pra nikah gratis dengan berbagai macam sharing pengalaman beliau menjaga kehidupan harmonis berumah tangga yang tahun ini memasuki tahun ke-18. Aw, So sweet!
Perjalanan singkat bersama beliau, nyatanya cukup untuk bikin mellow ketika kami harus berpisah di ruang tunggu bandara karena berbeda tujuan. Belum lagi setelah tahu bahwa kami hanya punya beberapa foto berdua, padahal ada ratusan foto terabadikan selama perjalanan. Ini nih salah satu kebiasaan buruk saya tiap traveling sama orang yang asik buat diajak ngobrol dan melakukan ini-itu bareng, selalu lupa foto bareng. Hiks.
Itulah kenapa saya membuat catatan ini. Semacam versi panjang dari serial #SahabatBaikWinwin yang biasa saya share di media sosial. Sebagian dari Anda mungkin sudah tahu atau sudah bisa menebak siapa yang sedang saya ceritakan, tapi untuk yang belum tahu, orang yang saya maksud adalah ibu Martha Simanjuntak, SE, MM founder dari IWITA (Indonesian Women IT Awareness).
Orang yang berhasil membuat saya terinspirasi dengan semua cerita-cerita segar penuh motivasinya. Yang selalu mengiyakan permintaan atau usul saya yang kadang nggak penting dan agak maksa. Harus banget ke Pantai dan makan pisang walau sudah malam dan kenyang, misalnya. Yang ntraktir saya berhari-hari dan masih sempat-sempatnya selalu tanya pengin apa lagi. Orang yang heboh nyari ketika saya langsung berlari ke pantai setelah turun dari mobil, padahal sayanya malah sibuk pepotoan kesana kemari. Orang yang, …. semoga suatu saat bisa saya temui lagi entah di belahan bumi sebelah mana. Aamiin.
Thanks a lot, ibu. You really inspires me!
Sumber: winwinfaizah.wordpress.com