Ini adalah cerita perjalanan saya di salah satu kota di Sumatera Utara. Hari terakhir bertugas di sebuah kota di Balige, terpikir untuk mengunjungi sebuah desa yang sebenarnya tidak masuk dalam rencana perjalanan. Pada saat itu jadwal penerbangan kembali ke Jakarta masih panjang, dan ingin menghabiskan waktu untuk menikmati pemandangan di desa lain dan diputuskanlah saat itu juga menuju sebuah desa yang konon, sesuai informasi dari orang tua (ibu) bahwa ada sebuah desa yang salah satu jalannya diberi julukan oleh masyarakat setempat dengan nama ayah saya.
Cerita Masa Lalu
Sudah lama sekali saya tidak berkunjung ke desa dimana orang tua (ayah) saya lahir. Terakhir kali waktu saya masih duduk di bangku SMA, bersama kedua orang tua dan adik-adik saya. Ayah lahir disebuah desa yang terletak di desa Lumbanrihit, Onanrunggu, Sipahutar, Sumatera Utara. Lulus dari IPB dengan gelar Insinyur dan menghabiskan masa hidupnya di Jakarta yang pada waktu itu masih aktif bekerja sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil), di Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan Jakarta. Yang saya ketahui beliau sudah seperti dokter hewan karena pekerjaannya hampir selalu berhubungan dengan hewan.
Saya tidak banyak tahu seperti apa beliau dalam pekerjaannya, karena beliau jarang dirumah menjalankan tugas baik di luar kota maupun sekolah di negara lain, saya hanya tahu beliau adalah ayah luar biasa yang sangat mengasihi keluarganya. Disela kesibukannya, beliau tidak pernah lupa mengajak kami berlibur atau sekedar makan bersama di rumah.
Salah satu yang selalu saya ingat, beliau memberikan kata mutiara buat kami pada saat jamuan makan keluarga di rumah adalah, “meja makan bukan hanya tempat mengisi perut yang lapar, tetapi juga mengisi jiwa yang dahaga”.
Alm Ir. Djaudin S. Simanjuntak
Membiasakan diri makan malam bersama keluarga adalah salah satu kesukaan beliau.
Lalu, apa hubungannya dengan tulisan saya pada paragraf pertama di atas?
Kadang seseorang lupa bahwa kita lahir dari orang tua yang memiliki cerita masa lalu yang bisa menjadi motivasi buat masa depan keturunannya. Saya tidak begitu peduli saat itu, bukan karena tidak menghormati beliau, tapi memang kesibukanlah yang membatasinya. Saat itu hati kecil seperti memanggil untuk mencari tahu, karena kebetulan berada di lokasi yang bisa dicapai dengan kendaraan (mobil). Mencari informasi melalui Ibu dan salah satu rekan kerja ayah saya. Ternyata beliau juga lupa letak persis lokasi nama jalannya. Menurut informasi yang saya dapat bahwa masyarakat memberikan penghargaan kepada ayah saya dengan memberikan julukan di salah satu jalan di desa tersebut karena keberhasilan beliau dalam mengembangkan ternak domba bersama masyarakat setempat sehingga dapat meningkatkan perekonomian di desa tersebut .
Entah kenapa keinginan kuat mencari alamat tersebut malah membuat saya menemukan cerita lain dari perjalanan singkat saat itu.
Menghormati Leluhur
Beberapa dari kita, melakukan ziarah untuk menghormati leluhur kita. Saya belum sempat berkunjung ke makam kakek dan nenek saya sejak beliau meninggal. Ya…sekali lagi karena waktu dan lokasi makam kakek dan nenek saya berada di Sumatera Utara.
Secara tidak disengaja malah saya menemukan makam kakek dan nenek saya ketika saya mencoba mencari salah satu sejarah keluarga (ayah) saya.
Maksud hati bertanya kesalah satu penduduk, ternyata orang yang saya tanya adalah salah satu bibi saya (bahasa Batak; Namboru). Beginilah pembicaraan kami.
“Inang, dimana saya bisa temukan jalan Ir. Dj Simanjuntak?”
“Ise ho?” Bibi tersebut yang sedang mengeringkan jagung di halaman rumahnya balik bertanya dengan bahasa Batak yang artinya, siapa kamu.
Goar hu Martha, Inang.
Mendadak saya dipeluk dan dicium yang membuat saya kaget dan sedikit panik….hahahaha
Singkat cerita, dia adalah bibi saya, yang seumur hidup saya, baru kali itu bertemu dan beliau tidak tahu sama sekali jalan yang saya tanya, malah menunjukkan arah makam kakek dan nenek saya yang letaknya sekitar dua ratus meter dari belakang rumahnya.
Kenapa bibi saya langsung mengenali saya hanya menyebut nama? Tentunya sudah umum, nama anak pertama sebagai julukan dari nama lain orang tua. Jadi keluarga ayah saya disana mengenal nama lain ayah saya adalah Bapaknya Martha 🙂
Akhirnya sampailah kami di makam tersebut, kebetulan saya sedang bersama dengan adik saya (anak laki-laki dari adik kandung ayah).
Tugu (makam) Kakek dan Nenek (bahasa Batak: Opung Boru dan Opung Doli)
Perjalanan menuju makam sangat indah, dikelilingi oleh perkebunan nanas. Dalam Budaya Batak, menghormati leluhurnya adalah membangun makam dalam bentuk Tugu. Disitulah peristirahatan terakhir kakek dan nenek saya yang dijadikan satu Tugu.
Rumah Bibi di Sipahutar
Perkebunan Nanas milik keluarga
Tugu (makam) Kakek dan Nenek
Tuhan yang menentukan kemana kita melangkah, begitu juga saat itu, Tuhan mengarahkan saya untuk berziarah ke makam kakek dan nenek saya (diluar rencana saya) dan bertemu dengan keluarga yang baru pertama kali bertemu.
Bibi (bahasa Batak: Namboru)
Semoga saya bisa kembali ke tempat ini untuk bertemu dengan keluarga yang lainnya dan menemukan apa yang belum saya temukan. Amin.
Setiap moment besar dan hebat dalam hidup seseorang tidak terlepas dari doa orang tua dan leluhur. Mengenal sejarah keluarga akan memotivasi seseorang untuk berbuat lebih baik untuk masa depan keturunannya ~ athamarthaborujuntak